“Pink Tax”, Ketimpangan Harga Bagi Perempuan dan Langkah Korektif Lewat Kebijakan Pajak
Pajak.com, Jakarta – Tepat pada peringatan Hari Kartini hari ini, isu kesetaraan gender kembali mengemuka dari sisi yang jarang disorot: dompet perempuan. Salah satunya adalah fenomena pink tax. Meski bukan pajak dalam arti harfiah, beban finansial ini diam-diam menciptakan ketimpangan ekonomi berbasis gender. Menariknya, dalam skala global, ketimpangan serupa juga tampak dalam bentuk tarif perdagangan internasional atau trade war tariff yang semakin memanas, kerap berdampak berbeda terhadap produk-produk yang banyak dikonsumsi oleh perempuan.
Definisi dan Contoh “Pink Tax”
Istilah pink tax merujuk pada selisih harga yang harus dibayar perempuan untuk produk atau layanan yang secara fungsional serupa dengan milik laki-laki, tetapi dikemas atau dipasarkan secara berbeda—sering kali hanya karena warnanya yang “feminin” seperti jambon alias merah muda. Fenomena ini terlihat dalam berbagai kebutuhan sehari-hari, mulai dari pisau cukur, sampo, hingga pakaian dan produk perawatan kulit.
Misalnya saja pakaian perempuan, terutama yang mengikuti tren mode, cenderung dihargai lebih tinggi dibanding pakaian laki-laki dengan bahan dan fungsi serupa. Produk skin care pun tak luput—meski kandungannya mirip, versi yang dikemas untuk perempuan bisa jauh lebih mahal karena dibungkus dalam narasi kecantikan dan standar estetika tertentu.
Temuan dari New York State Department of Consumer Affairs mengungkap bahwa barang-barang yang dipasarkan untuk perempuan rata-rata dihargai 7 persen lebih mahal daripada produk serupa untuk laki-laki atau versi netral, bahkan produk perawatan pribadi menunjukkan selisih hingga 13 persen. Di Inggris, perbedaan harga serupa juga ditemukan, misalnya deodoran perempuan yang 8,9 persen lebih mahal dan pelembap wajah yang harganya bisa 34,28 persen lebih tinggi. Laporan World Economic Forum (WEF) turut mencatat bahwa produk seperti kosmetik, sepatu, dan pakaian yang dipasarkan khusus kepada perempuan umumnya lebih mahal, terutama jika dikemas dalam warna merah muda atau feminin—seperti pisau cukur dan parfum.
Selain barang, sektor jasa seperti potong rambut atau dry cleaning juga kerap mematok harga lebih tinggi untuk pelanggan perempuan. Ketimpangan ini tidak diatur secara resmi oleh pemerintah, tetapi hadir sebagai konsekuensi dari strategi pemasaran dan segmentasi pasar yang menyasar konsumen perempuan.
Dampak “Pink Tax” Terhadap Perempuan
Dampak pink tax terhadap perempuan tidak hanya berhenti pada level konsumsi pribadi, tetapi meluas hingga memperlebar kesenjangan ekonomi berbasis gender. Perempuan, yang secara statistik memiliki pendapatan lebih rendah dari laki-laki, justru dihadapkan pada pengeluaran yang lebih tinggi untuk kebutuhan sehari-hari.
Ketika fenomena ini terjadi bersamaan dengan kebijakan ekonomi global seperti dampak kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang memberlakukan tarif tinggi terhadap barang impor tertentu—beban yang dirasakan perempuan bisa berlipat ganda. Produk-produk yang banyak dikonsumsi oleh perempuan, seperti kosmetik, pakaian, hingga kebutuhan rumah tangga, sering kali termasuk dalam kategori barang yang dikenai tarif tambahan.
Dalam kasus ini, perempuan tidak hanya membayar lebih karena faktor pemasaran gender, tetapi juga terdampak dari dinamika geopolitik yang mempermahal harga barang secara umum. Kombinasi antara pink tax dan tarif perang dagang menciptakan tekanan ekonomi bagi perempuan, yang secara struktural sudah berada dalam posisi kurang menguntungkan di pasar tenaga kerja dan akses terhadap keuangan.
Kebijakan Pajak yang Mulai Berpihak pada Perempuan
Dalam jangka panjang, pink tax menambah beban finansial yang tidak proporsional, terutama ketika dihadapkan pada kesenjangan upah berbasis gender yang masih terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Menyadari ketimpangan ini, beberapa negara telah merespons melalui kebijakan fiskal yang lebih sensitif gender. Australia, Kanada, dan beberapa negara bagian di AS, misalnya, telah menghapus pajak atas produk sanitasi seperti pembalut dan tampon—yang sebelumnya dikenai pajak barang mewah. Langkah ini bukan hanya soal penghapusan biaya tambahan, tetapi juga simbol pengakuan bahwa kebutuhan biologis perempuan tidak seharusnya diperlakukan sebagai komoditas premium.
Di Singapura, respons kebijakan fiskal yang lebih inklusif gender juga diterapkan melalui Working Mother’s Child Relief (WMCR). Insentif ini diberikan kepada ibu bekerja yang menikah, bercerai, atau berstatus janda, selama memenuhi sejumlah syarat, antara lain memiliki penghasilan kena pajak dari pekerjaan, bisnis, atau profesi di tahun pajak 2024, serta merawat anak yang berstatus Warga Negara Singapura hingga 31 Desember 2024 dan memenuhi kriteria penerima Qualifying Child Relief (QCR) atau Child Relief (Disability).
Dikutip dari laman resminya, WMCR dirancang untuk meringankan beban pajak perempuan sekaligus mendorong partisipasi perempuan dalam dunia kerja, terutama mereka yang memiliki tanggung jawab ganda sebagai ibu dan pencari nafkah. Kebijakan ini mencerminkan bagaimana instrumen perpajakan dapat diarahkan tidak hanya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk menciptakan keadilan yang lebih besar dalam struktur sosial dan ketenagakerjaan.
Indonesia pun sempat menyuarakan isu ini dalam pertemuan G20 pada masa presidensinya di Bali tahun 2022. Dalam forum tersebut, Indonesia mengusulkan agar negara-negara anggota G20 mempertimbangkan pengaturan mekanisme pajak berbasis gender. Topik serupa juga dibahas dalam forum yang diselenggarakan oleh OECD. Laporan dan studi dari G20 serta OECD menegaskan bahwa mendorong kesetaraan gender merupakan aspek penting dalam pembentukan kebijakan perpajakan di banyak negara.
Comments