in ,

Tata Cara Pencatatan dan Pembukuan untuk Tujuan Perpajakan, Ini Ketentuan Terbarunya!

Tata Cara Pencatatan dan Pembukuan
FOTO: IST

Tata Cara Pencatatan dan Pembukuan untuk Tujuan Perpajakan, Ini Ketentuan Terbarunya!

Pajak.comJakarta – Bagi Wajib Pajak yang menjalankan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, pencatatan dan pembukuan bukan sekadar rutinitas administratif. Keduanya merupakan fondasi utama dalam menjalankan kepatuhan pajak yang benar. Melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 81 Tahun 2024 (PMK 81/2024), pemerintah telah memperbarui pedoman tentang tata cara penyelenggaraan pencatatan dan pembukuan, sekaligus mempertegas kriteria siapa yang wajib mencatat dan siapa yang wajib membukukan.

PMK ini menjadi penting lantaran di dalamnya tidak hanya mengatur cara menyusun pencatatan dan pembukuan, tapi juga mendefinisikan jenis dokumen yang dapat dijadikan dasar pencatatan atau pembukuan serta syarat penyimpanannya. Lalu, apa saja ketentuan penting yang perlu diketahui Wajib Pajak?

Siapa yang Wajib Melakukan Pencatatan dan Pembukuan?

PMK 81/2024 telah membagi dua kelompok Wajib Pajak berdasarkan kewajiban pencatatan dan pembukuan. Pertama, Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan menggunakan tarif final atau norma penghitungan penghasilan neto (NPPN) asalkan omzet tidak boleh melebihi Rp4,8 miliar per tahun, Wajib Pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, dan Wajib Pajak orang pribadi yang memenuhi kriteria tertentu.

Kegiatan pencatatan ini lebih sederhana dibandingkan pembukuan, tetapi tetap harus dilakukan dengan tertib dan berdasarkan dokumen yang valid. Wajib Pajak orang pribadi yang sebenarnya boleh mencatat juga boleh memilih untuk melakukan pembukuan secara sukarela. Jika sudah memilih membukukan, maka ketentuan mengenai pembukuan harus dipatuhi sepenuhnya.

Baca Juga  Harga Emas Meroket, Kantor Pajak Ini Edukasi Kewajiban Perpajakan Pengusaha Emas

Kedua, pembukuan wajib dilakukan oleh Wajib Pajak badan, Wajib Pajak orang pribadi yang memilih menggunakan pembukuan, serta Bentuk Usaha Tetap (BUT). Artinya, semakin kompleks skala usaha atau jika Wajib Pajak menginginkan penghitungan pajak berdasarkan pembukuan, maka kewajiban pembukuan tak bisa dihindari.

Tata Cara Pencatatan 

Meskipun sekadar pencatatan, hal ini tidak bisa dilakukan sembarangan. PMK 81/2024 mengatur bahwa pencatatan harus disusun secara kronologis (berdasarkan urutan waktu) dan sistematis (berdasarkan pengelompokan yang terstruktur). Setiap transaksi, baik pemasukan maupun pengeluaran, wajib dicatat dan dilengkapi bukti pendukung yang sah.

Ada beberapa informasi penting yang harus dicantumkan dalam pencatatan, meliputi jumlah peredaran atau penerimaan bruto, biaya-biaya yang dikeluarkan, penghasilan neto (jika menghitung sendiri), transaksi yang termasuk objek PPh Final, dan transaksi yang tidak termasuk objek pajak.

Selain itu, format pencatatan bisa dilakukan secara manual (tulis tangan), melalui spreadsheet, atau menggunakan aplikasi elektronik. Namun, penyimpanan data harus tetap menjamin keamanan dan keutuhan informasi—baik secara fisik maupun digital.

Tata Cara Pembukuan

PMK 81/2024 menekankan bahwa pembukuan harus diselenggarakan dengan itikad baik, artinya jujur, tidak direkayasa, dan berdasarkan kondisi yang sebenarnya. Pembukuan juga wajib dilakukan secara taat asas dan konsisten dari tahun ke tahun, agar dapat menggambarkan perkembangan usaha secara objektif dan berkelanjutan.

Baca Juga  Catat Tanggalnya! Pemprov Jateng Hapus Tunggakan dan Denda Pajak Kendaraan Bermotor 

Untuk Wajib Pajak yang wajib membukukan, PMK ini mewajibkan penggunaan prinsip akuntansi berterima umum di Indonesia, yaitu Standar Akuntansi Keuangan (SAK) atau SAK Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK ETAP), tergantung skala usaha. Pembukuan juga harus mencerminkan kondisi usaha secara utuh, mencakup harta, kewajiban, dan modal; penghasilan dan biaya; pembayaran dan penerimaan tunai; serta transaksi penjualan dan pembelian.

Sistem yang digunakan dalam pembukuan harus konsisten, bisa berupa sistem pembukuan berpasangan (double entry) atau sistem lain yang lazim, selama bisa menggambarkan posisi keuangan usaha dengan akurat. PMK 81/2024 juga menegaskan bahwa pembukuan wajib dilakukan dalam bahasa Indonesia dan mata uang rupiah, kecuali jika Wajib Pajak mendapatkan izin khusus dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menggunakan bahasa asing dan mata uang selain rupiah (seperti dolar AS).

Di sisi lain, PMK 81/2024 mengatur bahwa pembukuan dapat disusun dengan menggunakan stelsel akrual atau stelsel kas, tergantung pada karakteristik usaha dan sistem pencatatan yang dipilih secara konsisten. Stelsel akrual mengakui penghasilan dan biaya pada saat terjadinya hak dan kewajiban, tanpa menunggu kas diterima atau dibayar. Sementara stelsel kas mengakui penghasilan dan biaya hanya saat kas benar-benar diterima atau dikeluarkan.

Pemilihan stelsel ini harus dilakukan sejak awal tahun pajak dan tidak boleh berubah-ubah, kecuali dengan persetujuan Dirjen Pajak.

Baca Juga  Tarif Bunga Sanksi Administrasi Pajak Terbaru

Dokumen dan Ketentuan Penyimpanan

Baik pencatatan maupun pembukuan wajib disusun secara kronologis (berdasarkan urutan waktu kejadian) dan sistematis (mengikuti struktur atau klasifikasi transaksi yang konsisten). Hal ini bertujuan agar otoritas pajak dapat dengan mudah menelusuri transaksi dan memastikan kesesuaiannya dengan laporan pajak yang disampaikan.

Wajib Pajak dapat menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan secara manual, elektronik, atau dengan memanfaatkan jasa penyedia aplikasi. Namun, sistem yang digunakan tetap harus menjamin keandalan, keutuhan, dan keamanan data.

Dus, pencatatan dan pembukuan harus disusun berdasarkan dokumen yang sah. Yang dimaksud dokumen dalam peraturan ini mencakup faktur atau nota penjualan, kuitansi, bukti transfer, serta faktur pajak dan bukti pemotongan atau pemungutan pajak. Dokumen-dokumen ini wajib disimpan sebagai dasar pencatatan dan pembukuan, serta dapat diminta saat pemeriksaan pajak dilakukan.

Satu hal yang sering terabaikan oleh pelaku usaha adalah jangka waktu penyimpanan data. PMK 81/2024 mewajibkan semua dokumen pencatatan, pembukuan, dan bukti transaksi untuk disimpan sekurang-kurangnya 10 tahun sejak akhir tahun pajak terakhir.

Kewajiban penyimpanan ini berlaku baik untuk bentuk fisik maupun digital. Dalam hal terjadi pemeriksaan pajak, dokumen ini menjadi bukti utama yang dapat memperkuat posisi Wajib Pajak. Dengan kata lain, penyimpanan dokumen penting sebagai bagian dari pertanggungjawaban perpajakan, terutama jika di kemudian hari terjadi pemeriksaan atau permintaan data dari fiskus.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *