in ,

Tarif Pajak Hiburan 40 – 75 Persen, Kemenkeu: Dikenakan atas Aktivitas “Lifestyle”

Tarif Pajak Hiburan 40 - 75 Persen
FOTO: MK

Tarif Pajak Hiburan 40 – 75 Persen, Kemenkeu: Dikenakan atas Aktivitas “Lifestyle”

Pajak.com, Jakarta – Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman menghadiri sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konsitusi (MK). Dalam sidang tersebut, Luky menegaskan bahwa penetapan tarif pajak hiburan 40 – 75 persen telah sesuai dengan prinsip keadilan. Pasalnya, aktivitas diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa merupakan gaya hidup (lifestyle). 

Seperti diketahui, penetapan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa merupakan objek pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) yang ditetapkan dengan tarif khusus berdasarkan Pasal 58 ayat (2) UU HKPD.

“Aktivitas-aktivitas diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa merupakan lifestyle dan bukan basic needs yang dibutuhkan dalam kehidupan seperti sandang, pangan, dan papan. Tarif layanan yang relatif tinggi tersebut menjadi alasan mengapa aktivitas-aktivitas ini hanya dilakukan oleh kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang relatif tinggi,” jelas Luky di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo, dikutip Pajak.com, (11/7).

Ia menjelaskan, teori penetapan tarif pajak dalam prinsip keadilan (equilty), yaitu kelompok masyarakat dengan ekonomi yang lebih tinggi akan menanggung beban pajak yang lebih besar daripada masyarakat dengan kemampuan ekonomi rendah.

“Oleh karena itu, pemerintah harus mengenakan tarif pajak yang lebih tinggi atas barang-barang yang bersifat eksklusif tersebut untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai,” ujar Luky.

Baca Juga  MK Gelar Uji Materiil Pajak Hiburan yang Diajukan Pengusaha Karaoke

Di sisi lain, negara memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk merumuskan penetapan tarif pajak yang sejatinya merupakan kebijakan terbuka (open legal policy).

“Selain itu, pilihan kebijakan pembentuk undang-undang yang menetapkan jasa hiburan diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa sebagai objek PBJT atas jasa kesenian dan hiburan pada UU HKPD tidak bertentangan dengan UUD 1945,” tegasnya.

Selain itu, ia memastikan pemerintah telah melakukan pembahasan dan penetapan tarif pajak hiburan 40 – 75 persen bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pemerintah juga sudah mempertimbangkan masukan dari berbagai pihak, termasuk para pelaku usaha dan berbagai elemen masyarakat.

“UU HKPD memberikan ruang kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pemungutan pajak daerah untuk memberikan insentif fiskal berupa pengurangan, keringanan, dan pembebasan, atau penghapusan pokok pajak, pokok retribusi, dan/atau sanksinya sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 101 UU HKPD,” ungkap Luky.

Pada kesempatan yang sama, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta penjelasan lebih lanjut terkait implementasi pemberian insentif pengusaha hiburan/jasa tersebut.

“Sebagaimana dalil permohonan, pajak cukup tinggi yang dibebankan kepada konsumen menyebabkan kondisi usaha hiburan/jasa bersangkutan menjadi sepi. Bagaimana ini kemudian bisa ada keseimbangan bahwa insentif fiskal itu kepada pelaku usaha tetapi kemudian juga tidak membebankan konsumen, mohon ini ada penjelasan,” ungkap Enny.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *