in ,

Syarat dan Prosedur Piutang Tak Tertagih agar Dapat Dibiayakan

Syarat dan Prosedur Piutang Tak Tertagih
FOTO: IST

Syarat dan Prosedur Piutang Tak Tertagih agar Dapat Dibiayakan

Pajak.comJakarta – Dalam perjalanan sebuah bisnis, piutang tak tertagih sering kali dianggap sebagai kerugian. Namun, piutang yang nyata-nyata tidak bisa ditagih, ketika diakui secara resmi, dapat dianggap sebagai biaya yang sah. Biaya ini memiliki peran penting karena dapat digunakan sebagai pengurang penghasilan bruto, yang pada akhirnya akan menurunkan penghasilan kena pajak. Pajak.com akan membahas syarat dan prosedur bagaimana piutang tak tertagih sehingga dapat dijadikan biaya yang sah, memungkinkan perusahaan untuk memanfaatkan kondisi ini guna mengurangi jumlah pajak yang terutang, sekaligus memperkuat posisi keuangan perusahaan dalam jangka panjang.

Apa itu piutang tak tertagih?

Berdasarkan Pasal 6 ayat 1 huruf h dari Undang-undang No. 36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 17 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), yang telah diubah dengan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat diakui sebagai pengurang penghasilan bruto. Piutang ini merujuk pada piutang atas transaksi bisnis yang wajar dan nyata-nyata tidak dapat ditagih meskipun telah dilakukan upaya penagihan yang maksimal atau terakhir oleh Wajib Pajak.

Baca Juga  Pendapatan Negara 2025 Disepakati 12,36 Persen dari PDB, DPR Dorong Implementasi Core Tax

Jenis piutang ini, yang sering muncul dalam industri perbankan, lembaga pembiayaan, serta industri dan jasa lainnya, dapat menjadi beban biaya yang sah dalam menghitung penghasilan kena pajak. Namun, penting untuk dicatat bahwa piutang yang berasal dari transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa dengan Wajib Pajak tidak termasuk dalam kategori ini.

Apa saja syarat piutang tak tertagih?

Dalam lingkup keuangan perusahaan, pengakuan piutang tak tertagih sebagai biaya dalam laporan laba/rugi tidak hanya diizinkan oleh prinsip akuntansi, tetapi juga didukung oleh ketentuan fiskal. Namun, untuk memastikan bahwa pengakuan ini tidak menimbulkan koreksi dari pihak otoritas pajak, Wajib Pajak diharuskan untuk memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditetapkan.

Untuk piutang tak tertagih agar dapat dimanfaatkan sebagai pengurang penghasilan bruto, perusahaan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Pengakuan biaya

Piutang telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.

2. Penyerahan daftar piutang

Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP) baik dalam bentuk hard copy yang dilampirkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan maupun soft copy.

3. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut:

  • Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
  • Terdapat perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang bersangkutan;
  • Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
  • Adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah utang tertentu. Perlu diingat, poin ini tidak berlaku untuk penghapusan piutang tak tertagih bagi debitur kecil.
Baca Juga  Bank Dunia: Kenaikan Tarif PPN 12 Persen Hambat Perluasan Basis Pajak dan Penurunan Kepatuhan

Lebih lanjut, piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih kepada debitur kecil merupakan piutang debitur kecil yang jumlahnya tidak melebihi Rp 100 juta. Piutang ini merupakan gunggungan jumlah piutang dari beberapa kredit yang diberikan oleh suatu institusi bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya pemberian:

  • Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera (Kukesra);
  • Kredit Usaha Tani (KUT);
  • Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana (KPRSS);
  • Kredit Usaha Kecil (KUK);
  • Kredit Usaha Rakyat (KUR); dan/atau
  • Kredit kecil lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi.
Bagaimana prosedur piutang tak tertagih?

Perusahaan harus menyusun daftar normatif piutang yang tidak dapat ditagih, yang mencakup informasi penting seperti nama debitur, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), alamat, jumlah plafon utang yang diberikan, serta jumlah piutang yang tidak dapat ditagih. Perlu diperhatikan bahwa NPWP tidak perlu dicantumkan jika piutang tak tertagih berasal dari plafon utang hingga Rp 50 juta.

Baca Juga  Bayar PBB secara “On-line” Hanya 5 Menit dengan Aplikasi Ini

Selanjutnya, perlu dipastikan juga kalau daftar tersebut harus dilengkapi dengan salah satu dari dokumen berikut:

  1. Fotokopi bukti penyerahan perkara jika penagihan telah diserahkan ke pengadilan negeri atau instansi pemerintah yang menangani piutang negara;
  2. Fotokopi perjanjian penghapusan piutang apabila ada perjanjian tertulis mengenai penghapusan piutang atau pembebasan utang yang telah dilegalisasi oleh notaris;
  3. Fotokopi bukti publikasi jika penghapusan piutang telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus;
  4. Surat pengakuan debitur kalau ada surat dari debitur yang mengakui bahwa utangnya telah dihapuskan, yang disetujui oleh kreditur untuk jumlah utang tertentu; atau
  5. Daftar piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih beserta bukti atau dokumen pendukung harus disampaikan bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan.

Kepatuhan terhadap prosedur ini memastikan bahwa beban piutang tak tertagih dapat dibiayakan dengan benar dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *