Sukabumi Susun Aturan Pajak Baru, Ini 7 Perubahan yang Dibahas DPRD dan Pemkab
Pajak.com, Sukabumi — Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sukabumi menggelar rapat paripurna ke-10 tahun sidang 2025 untuk membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang perubahan atas Perda Nomor 15 Tahun 2023 mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Dalam Raperda ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi mengusulkan tujuh poin perubahan penting yang menyasar aspek tarif, klasifikasi, hingga pencabutan regulasi yang tidak relevan.
Wakil Bupati Sukabumi Andreas dalam penyampaian Nota Pengantar Bupati mengungkapkan, langkah perubahan ini merupakan tindak lanjut atas evaluasi dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan. Ia menambahkan bahwa pengajuan Raperda ini juga bertujuan untuk mendukung terciptanya iklim investasi yang lebih kondusif di daerah, sekaligus menyesuaikan ketentuan dengan perubahan regulasi di tingkat pusat.
Andreas menjelaskan, regulasi yang menjadi dasar perubahan ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), serta Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
“Kedua regulasi dari pemerintah pusat tersebut menjadi pedoman utama dalam kebijakan pajak dan retribusi, yang merupakan bagian penting dari hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah,” kata Andreas, dikutip dari Sukabumiku.id, Minggu (13/4).
Dalam forum tersebut, Andreas menekankan urgensi percepatan revisi Perda ini, seiring adanya tenggat waktu yang telah ditetapkan. Ia mengingatkan bahwa keterlambatan bisa berdampak pada penundaan penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) dan/atau Dana Bagi Hasil (DBH) Pajak Penghasilan (PPh). Hal ini tentu dapat berimbas pada program pembangunan dan pelayanan publik di Sukabumi.
Sementara itu, Ketua DPRD Kabupaten Sukabumi Budi Azhar Mutawali menegaskan, perubahan Perda ini penting untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) serta efektivitas kebijakan pajak daerah dan retribusi.
“Perubahan Perda ini diperlukan untuk meningkatkan PAD dan memastikan kebijakan pajak serta retribusi bisa berjalan lebih efektif,” ujar Budi.
Ia menambahkan, DPRD bersama Pemkab Sukabumi berkomitmen untuk segera menetapkan Perda baru. “Rapat paripurna ini menjadi langkah awal agar ke depan pemerintah daerah bisa lebih maksimal dalam menggali potensi PAD,” imbuhnya.
Budi juga menegaskan bahwa dalam pembahasan lebih lanjut, DPRD akan melakukan kajian intensif terhadap Raperda yang diajukan. “Karena ini hasil evaluasi dari kementerian, maka akan ada pasal-pasal yang dihapus atau dikurangi. Selanjutnya, kita akan melakukan pembahasan intensif terhadap Raperda ini,” jelasnya.
Berikut adalah tujuh poin perubahan yang diusulkan dalam Raperda tersebut:
Penyederhanaan tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) dengan menerapkan satu tarif tunggal untuk mempermudah administrasi perpajakan daerah.
Dukungan terhadap pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) melalui penyesuaian batasan omzet yang dikecualikan dari kewajiban Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) pada sektor makanan dan minuman, yang ditetapkan maksimal senilai Rp7 juta per bulan.
Penyesuaian klasifikasi tarif PBJT untuk tenaga listrik dengan membedakan tarif berdasarkan besaran daya yang digunakan konsumen.
Efisiensi regulasi dengan menghapus aturan-aturan tumpang tindih serta menambahkan variabel baru dalam perhitungan retribusi daerah untuk meningkatkan efektivitas dan transparansi. Salah satunya, penambahan variabel dalam perhitungan pajak untuk menyesuaikan nilai lokalitas dalam Pasal 102.
Pencabutan Perda Kabupaten Sukabumi Nomor 3 Tahun 2016 tentang Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan yang dinilai sudah tidak relevan lagi dengan kondisi dan kebutuhan saat ini.
Penyesuaian rincian retribusi pada Lampiran I, II, dan III, yang mencakup perubahan pada ketentuan tentang jasa umum, jasa usaha, dan perizinan tertentu.
Adanya penghapusan dan penyesuaian beberapa pasal, seperti Pasal 61 dan 73 dihapus karena redundan atau tidak relevan. Frasa-frasa seperti “paling sedikit” diubah menjadi “sebesar”, dan “kepala daerah” menjadi “bupati”.