Sri Mulyani Waspadai Penerimaaan Perpajakan yang Terkontraksi 7 Persen per Semester I-2024
Pajak.com, Jakarta – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati melaporkan bahwa penerimaan perpajakan mencapai Rp 1.028 triliun pada semester I-2024 atau 44,5 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024. Penerimaan perpajakan ini terkontraksi 7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang tercatat sebesar Rp 1.105,6 triliun. Untuk itu, Sri Mulyani waspadai kontraksi penerimaan perpajakan tersebut.
Adapun kinerja perpajakan sebesar Rp 1.028 triliun itu berasal dari realisasi penerimaan pajak Rp 893,8 triliun serta bea dan cukai Rp 134,2 triliun.
“Kinerja penerimaan perpajakan pada semester I-2024 menunjukkan tantangan yang signifikan. Meskipun terdapat beberapa peningkatan, sejumlah sektor tetap mengalami penurunan yang perlu diwaspadai. Kami berharap dalam suasana yang sangat tidak pasti, tentu pelaksanaan seluruh program kementerian/lembaga dan pemerintah daerah masih bisa dieksekusi untuk mendorong dan menjaga momentum pertumbuhan ekonomi dan melindungi masyarakat agar tetap meningkat kemakmurannya,” ungkap Sri Mulyani dalam Laporan Realisasi Semester I dan prognosis Semester II Pelaksanaan APBN 2024 di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dikutip Pajak.com, (12/7).
Faktor Penerimaan Perpajakan Terkontraksi 7 Persen
Ia mengungkapkan bahwa kontraksi tersebut dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor, utamanya karena penurunan Pajak Penghasilan (PPh) badan yang disebebakan loyonya profitabilitas perusahaan, serta tekanan penerimaaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) akibat restitusi yang meningkat.
“Dari sisi bruto aktivitas ekonominya masih positif pertumbuhannya. Namun kemudian dilakukan restitusi sehingga terjadi penerimaan netto pajak kita terlihat mengalami tekanan 11 persen. Ativitas ekonominya sendiri masih bergerak, namun penerimaan pajaknya menurun karena adanya restitusi di PPN. Jadi, PPh badan dan PPN yang kontribusinya terbesar mengalami tekanan terhadap penerimaan kita,” jelas Sri Mulyani.
Kendati demikian, kinerja PPh Pasal 21 mengalami kenaikan signifikan sebesar 28,5 persen. Hal ini mencerminkan peningkatan dalam aktivitas dan pendapatan karyawan. Seirama dengan itu, penerimaan PPh orang pribadi juga mengalami kenaikan sebesar 12 persen yang menunjukkan pertumbuhan dalam penghasilan individu.
“Sedangkan PPh final mengalami pertumbuhan 13,8 persen secara neto yang menunjukkan adanya pemulihan aktivitas dari sisi deposito, konstruksi, sewa tanah/bangunan yang didorong kenaikan aktivitas transaksi. Sedangkan PPN impor masih tumbuh tapi tipis dan PPh 26 juga mengalami pertumbuhan 4,8 persen. Ini berarti tekanan dari penerimaan pajak bisa diidentifikasi berkaitan dengan komoditas dan restitusi, sedangkan aktivitas ekonomi masih relatif terjaga. Namun kita juga tetap harus waspada,” ungkap Sri Mulyani.
Sementara itu, penerimaan bea dan cukai yang terkontaksi disebabkan oleh penurunan kinerja cukai hasil tembakau (CHT) karena fenomena downtrading, yakni produksi rokok lebih banyak dihasilkan oleh pelaku usaha golongan III. Golongan tersebut memiliki tarif cukai lebih rendah, dibanding pelaku usaha golongan I dengan tarif cukai paling tinggi.
“Kinerja penerimaan dari bea masuk juga tumbuh tipis 0,3 persen atau mencapai Rp 24,3 triliun. Ini dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS (Amerika Serikat) dan efek dari penurunan impor komoditas, seperti gas, kendaraan, serta suku cadang,” ungkap Sri mulyani.
Comments