Rumah Ibadah Kena Pajak? Begini Ketentuan dan Aturan Lengkapnya
Pajak.com, Jakarta – Berbicara tentang rumah ibadah, banyak yang mungkin tidak menyadari bahwa bangunan suci ini juga berkaitan dengan persoalan pajak. Meskipun rumah ibadah seperti masjid, gereja, pura, dan wihara umumnya digunakan untuk kegiatan keagamaan dan sosial, tetap ada aturan perpajakan yang mengatur aset dan kegiatan yang dimiliki oleh lembaga keagamaan ini. Bagaimana sejatinya ketentuan pajak rumah ibadah? Berikut Pajak.com ulas secara lengkap merujuk peraturan perpajakan yang berlaku.
PPN di Rumah Ibadah
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada prinsipnya dikenakan atas barang dan jasa yang memenuhi syarat sebagai Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Namun, rumah ibadah tidak serta merta dikenakan PPN atas semua jasanya. Dalam konteks pengenaan PPN pada rumah ibadah, jasa yang disediakan lembaga keagamaan seperti pelayanan keagamaan biasanya dikecualikan dari pajak, salah satunya saat proses pembangunan rumah ibadah.
Merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 71 Tahun 2022 (PMK 71/2022), jasa konstruksi yang digunakan untuk membangun tempat ibadah termasuk dalam JKP yang dibebaskan dari PPN. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 4 huruf a Peraturan Pemerintah (PP) 49/2022, yang menyatakan bahwa jasa konstruksi yang diserahkan untuk pembangunan rumah ibadah tidak dikenakan PPN.
Artinya, pembangunan tempat ibadah dapat dilakukan tanpa beban tambahan berupa pajak, sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap kegiatan keagamaan dan sosial. Pembebasan ini berlaku tanpa memerlukan Surat Keterangan Bebas (SKB) PPN, yang mempermudah proses pembangunan rumah ibadah.
Selain pembebasan PPN atas jasa konstruksi untuk pembangunan rumah ibadah, ada juga sejumlah jasa keagamaan yang secara khusus dikecualikan dari pengenaan PPN sesuai dengan PMK 71/2022. Jasa keagamaan ini meliputi pelayanan rumah ibadah, pemberian khotbah, ceramah, atau dakwah, serta penyelenggaraan acara atau kegiatan yang berhubungan dengan keagamaan. Hal ini berarti bahwa kegiatan seperti penggunaan fasilitas rumah ibadah untuk beribadah, pengajaran agama, dan pelaksanaan upacara keagamaan tidak dikenakan PPN.
Dus, jasa perjalanan ibadah seperti haji, umrah, serta perjalanan ke tempat-tempat suci di luar negeri termasuk dalam kategori yang dibebaskan dari PPN. Misalnya, perjalanan haji dan umrah ke Makkah dan Madinah bagi umat Islam, serta perjalanan ke tempat suci seperti Vatikan, Yerusalem, atau Bodh Gaya untuk umat agama lainnya.
Pajak Listrik dan PBB pada Rumah Ibadah
Selain pengenaan PPN pada rumah ibadah, bagaimana dengan aspek pajak daerah seperti pajak listrik dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)? Pajak-pajak ini sering menjadi pertanyaan terkait beban fiskal yang mungkin ditanggung oleh rumah ibadah.
Dalam hal konsumsi listrik, misalnya, Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas konsumsi tenaga listrik tidak berlaku untuk rumah ibadah. Hal ini diatur dalam Pasal 52 ayat (2) huruf c Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD), yang menyatakan bahwa konsumsi listrik di rumah ibadah, panti jompo, panti asuhan, dan panti sosial lainnya dikecualikan dari objek pajak ini. Artinya, rumah ibadah seperti masjid, gereja, atau pura tidak dibebani pajak atas konsumsi tenaga listrik yang digunakan.
Selain pajak listrik, rumah ibadah juga mendapat pengecualian dalam hal Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang BPHTB, perolehan hak atas tanah dan bangunan yang digunakan untuk kepentingan ibadah seperti masjid, gereja, pura, wihara, dan sarana ibadah lainnya tidak dikenakan BPHTB.
Sementara itu, untuk PBB, rumah ibadah juga mendapatkan pembebasan. Berdasarkan Pasal 77 ayat (3) UU PDRD, objek yang digunakan semata-mata untuk kepentingan ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional yang tidak bertujuan mencari keuntungan, termasuk dalam kategori yang dibebaskan dari pengenaan PBB. Hal ini menegaskan bahwa rumah ibadah dan lembaga-lembaga sosial yang melayani kepentingan umum tidak dibebani PBB, sehingga operasionalnya tidak terhambat oleh kewajiban fiskal.