in ,

Robert Pakpahan: “Core Tax” Perkuat Akurasi Pengawasan Wajib Pajak dalam CRM

robert pakpahan core tax
Foto: Tiga Dimensi 

Robert Pakpahan: “Core Tax” Perkuat Akurasi Pengawasan Wajib Pajak dalam CRM

Pajak.com, Jakarta – Indonesia tengah bersiap menyambut sistem administrasi perpajakan baru yang direncanakan dapat terimplementasi pada 1 Juli tahun 2024. Sistem yang dikukuhkan bernama Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP)/Core Tax Administration System (CTAS) atau populer disebut core tax ini akan diterapkan seirama dengan penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Sebagai salah satu arsitek pembangunan core tax, Direktur Jenderal Pajak periode 2017-2019 dan Senior Advisor TaxPrime Robert Pakpahan mengungkapkan core tax mampu memperkuat Compliance Risk Management (CRM) untuk semakin mengakurasi pengawasan Wajib Pajak.

Ia kembali menjelaskan bahwa desain perancangan core tax sejak tahun 2017 adalah mengintegasikan 21 proses bisnis, meliputi pendaftaran, pelayanan, pengawasan kewilayahan atau ekstensifikasi, pengelolaan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan/masa, pembayaran, pengelolaan data pihak ketiga, exchange of information (EoI), penagihan, tax payer management atau tax account management (TAM), pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, CRM, business intelligence, document management system, data quality management, keberatan dan banding, nonkeberatan, pengawasan, penilaian, layanan edukasi, dan knowledge management.

Robert menyoroti, manajemen utama yang dibangun untuk menjadi backbone core tax adalah CRM. Mesin atau sistem ini akan menggunakan segala informasi yang ada dan mengategorikan Wajib Pajak berisiko tinggi, menengah, dan rendah, sehingga menciptakan keadilan yang diharapkan mampu meningkatkan kepatuhan.

Baca Juga  Apa dan Manfaat CRM bagi DJP serta Wajib Pajak

Desain skema CRM sejatinya sudah mulai dikembangkan DJP sejak tahun 2019. Mengutip Surat Edaran (SE) Dirjen Pajak Nomor SE-24/PJ/2019, CRM adalah suatu proses pengelolaan risiko kepatuhan Wajib Pajak secara menyeluruh, meliputi identifikasi, pemetaan, pemodelan, mitigasi atas risiko kepatuhan Wajib Pajak, hingga tahap evaluasi.

“Ujung-ujungnya CRM mencari siapa yang enggak patuh pajak. Dengan adanya proses bisnis yang saling terhubung, semua data-data terkumpul, ada pengolahan data yang lebih akurat. CRM membantu petugas untuk memilah-milah siapa yang sebenarnya perlu diawasi lebih khusus. Intinya, CRM membantu petugas dalam melihat Wajib Pajak dengan informasi-informasi yang ada, ‘oh ini yang perlu diperiksa’. Jadi, lebih akurat, efisien, dan paling penting mengurangi intervensi manusia,” ungkap Robert Pakpahan kepada Pajak.com, di Ruang Rapat Utama, Kantor TaxPrime, Menara Caraka, Kawasan Mega Kuningan, (10/6).

Secara komprehensif, CRM memiliki peta kepatuhan berdasarkan fungsi, pertama ekstensifikasi, yaitu peta yang menggambarkan risiko kepatuhan Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP yang disusun berdasarkan pada tingkat kemungkinan ketidakpatuhan Wajib Pajak dan tingkat kontribusi Wajib Pajak terhadap penerimaan.

Kedua, fungsi pemeriksaan dan pengawasan adalah peta yang menggambarkan risiko kepatuhan Wajib Pajak dalam melakukan pelaporan, pembayaran, dan kebenaran pelaporan yang disusun berdasarkan pada tingkat kemungkinan ketidakpatuhan dan tingkat kontribusi Wajib Pajak terhadap penerimaan. Ketiga, fungsi penagihan adalah peta yang menggambarkan risiko kepatuhan Wajib Pajak dalam melakukan pembayaran piutang pajak yang disusun berdasarkan tingkat ketertagihan Wajib Pajak.

Baca Juga  Manfaat “Taxpayer Account Management” bagi Wajib Pajak

Robert pun menyimpulkan, CRM menciptakan suatu kerangka kerja yang sistematis, terukur, dan objektif.

Selain itu, menurutnya, data matching dalam core tax menjadi jalan keluar diskrepansi proses bisnis perpajakan yang selama ini belum optimal dilakukan oleh sistem DJP—Sistem Informasi DJP (SIDJP). Core tax melahirkan standardisasi sehingga menciptakan keseragaman DJP dalam melayani, menyuluh, dan/atau mengawasi Wajib Pajak.

“DJP akan bekerja secara lebih modern dan terautomasi, sehingga yang enggak perlu-perlu diperiksa, ya enggak diperiksa. Kalau sekarang, masih ada unsur manualnya atau mungkin aspek subjektivitas. Nanti dengan adanya CRM harusnya subjektivitas itu berkurang, karena sudah ada sistem yang menentukan risiko apa yang menjadi prioritas,” jelas Robert.

Kemudian, manajemen risiko perpajakan itu tersentralisasi dalam salah satu output dalam menu layanan taxpayer account management atau TAM. Ia menjelaskan, TAM akan dimiliki masing-masing Wajib Pajak yang akuntabel mengintegrasikan NPWP, pembayaran Wajib Pajak, penagihan, pelaporan SPT, pengawasan, keberatan, banding, peninjauan kembali, atau permohonan fasilitas perpajakan—baik restitusi maupun insentif pajak.

“Akhirnya, sistem ini akan lebih cepat mendeteksi ketidakpatuhan. Seyogianya, over all saya yakin sistem administrasi perpajakan kita lebih andal, lebih akurat, harusnya yang salah-salah berkurang, sehingga sengketa perpajakan dapat berkurang,” pungkas Robert.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *