in ,

Komwasjak Gandeng FIA UI, Gali Perspektif Urgensi Pembentukan Badan Penerimaan Negara 

Gali Perspektif Urgensi Pembentukan Badan Penerimaan Negara 
FOTO: Aprilia Hariani

Komwasjak Gandeng FIA UI, Gali Perspektif Urgensi Pembentukan Badan Penerimaan Negara 

Pajak.com, Jakarta – Fakultas Ilmu Administrasi (FIA) Universitas Indonesia (UI) gandeng Komite Pengawas Perpajakan (Komwasjak) untuk gali perspektif akademisi mengenai urgensi pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN). Diskusi ilmiah perpajakan bertajuk Reformasi Institusional Perpajakan Dalam Rangka Mewujudkan Indonesia Emas 2045 ini, dilaksanakan di Auditorium EDISI 2020, Fakultas FIA UI, Selasa (4/6).

Acara dibuka dengan sambutan Ketua Departemen FIA UI Inayati dan Ketua Komwasjak Amien Sunaryadi. Sementara, materi diskusi disampaikan oleh Guru Besar Kebijakan Publik Perpajakan FIA UI Haula Rosdiana, Kepala Departemen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar, Founder DDTC Darussalam, Akademisi Perpajakan/Ketua Indonesian Fiscal and Tax Administration Association (IFTAA) Prianto Budi.

Dalam sambutannya, Ketua Departemen FIA UI Inayati mengingatkan bahwa pajak berkontribusi sangat besar bagi hampir semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan negara lebih dari 70 persen—sehingga tidak berlebihan apabila pajak diibaratkan sebagai darah bagi negara.

“Dalam sistem perpajakan ada tiga pilar yang penting, yaitu tax policy, tax law, dan tax administration. Ketika kita bicara tax administration tentu dengan asumsi bahwa tax policy kita didesain dengan sangat baik. Artinya, kita selalu bisa melakukan evaluasi dan merevisi kebijakan kita. Karena ketika kita bicara pajak, bukan hanya bicara tentang bagaimana meningkatkan penerimaan negara, tapi bagaimana melakukan efisiensi dalam pemungutan. Kalau tax revenue-nya meningkat, namun cost of compliance tinggi, maka tidak ada cost efficiency,” ungkap Inayati.  

Dengan demikian, diperlukan diskusi ilmiah yang komprehensif dari berbagai perspektif dalam mengevaluasi kebijakan perpajakan, termasuk rencana pembentukan BPN. Hal ini dilakukan untuk mewujudkan kesejahteraan umum sebagai amanat pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Inayati berharap, diskusi ini dapat memberikan rekomendasi konstruktif demi mewujudkan reformasi institusional perpajakan untuk mencapai Indonesia Emas 2045.

Ketua Komwasjak Amien Sunaryadi sepakat bahwa upaya membangun ekosistem perpajakan yang lebih baik bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Ia menekankan, Komwasjak berperan untuk mencegah kebocoran penerimaan perpajakan sebagai sumber pembangunan negara.

Baca Juga  POLTAX – GAP – IFTAA Jembatani Paradoks Pajak Minimum Global vs Insentif bagi Investor

“Komwasjak membantu menciptakan dan/atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam pemberantasan korupsi di bidang perpajakan, mengawasi pelaksanaan undang-undang perpajakan oleh petugas pajak, mengawasi pelaksanaan dan menampung pengaduan pelanggaran kode etik pegawai pajak, meningkatkan perlindungan hak-hak pembayar pajak agar diperoleh layanan pajak yang cepat, murah, dan memenuhi rasa keadilan. Komwasjak ini komite non-struktural yang bersifat independen dan bertugas memberi masukan dan rekomendasi yang bersifat strategis. Kami pun mengamati diskusi di masyarakat, muncul diskusi pembentukan BPN, di mana DJP dipisah dari Kemenkeu. Maka, kami di Komwasjak secara internal juga melakukan diskusi dan silahkan didiskusikan di sini,” ungkap Amien.

Gali perspektif akademisi

Guru Besar Kebijakan Publik Perpajakan UI Haula Rosdiana mengemukakan, urgensi pembentukan BPN dilatarbelakangi oleh beberapa faktor, yaitu lembaga perpajakan di Indonesia masih menganut traditional bodies dengan otonomi yang teramat sangat minim. Bahkan secara teori, dapat dikatakan sama sekali tidak mempunyai kewenangan yang otonom.

“Di sisi lain, kelembagaan berperan sangat penting untuk mengatur dan mendistribusikan sumber daya agar dapat tercipta optimalisasi sumber daya untuk mencapai tujuan kebijakan. Maka, nantinya BPN harus menjadi instrumen politik yang dapat membangun dan memperkuat legitimasi dan trust, khususnya political trust dan social trust guna mempererat relasi antara negara dan rakyat dalam nation building,” ungkap Haula.

Kemudian, urgensi lain terkait pembentukan BPN adalah karena secara tren tax ratio menurun. Pada tahun 2021, tax ratio Indonesia berada di bawah negara rata-rata negara Asia Pasifik (sebesar 19,8 persen) dan di bawah rata-rata negara OECD (34,1 persen), pencegahan tax fraud tidak optimal, dan tidak agile menghadapi aggressive tax planning dan Base Erosion and Profit Shifting (BEPS).

“BPN memiliki tujuan agar penerimaan negara yang optimal dengan revenue ratio sebesar 23 persen pada tahun 2029 demi tercapainya kesejahteraan masyarakat,” tegas Haula.

Ia menjelaskan, ada tiga pilar utama untuk mencapai tujuan tersebut, pertama, fasilitas dan instrumen pelayanan yang lengkap—instrumen pelaporan tunggal, sederhana, komprehensif dan mudah. Kemudian, akses informasi yang cepat melalui penyuluhan maupun sosialisasi dan layanan.

Kedua, pilar komunikasi politik pajak, yang berisi konfirmasi data giat ekonomi tahun berjalan pada pajak, pembahasan temuan pemeriksaan, penyampaian publik terhadap pemanfaatan uang pajak, hingga pemberian preferensi akses ekonomi bagi pembayar pajak. Ketiga, pilar law enforcement, antara lain mengenai pemeriksaan khusus karena kondisi tertentu, pemeriksaan bukti permulaan yang terindikasi melakukan tindak pidana perpajakan, sampai dengan penyidikan.

Baca Juga  Peran Perempuan dalam Mendesain Kebijakan Perpajakan

“Sistem perpajakan ke depan itu adalah menghilangkan keberatan. Jadi, pemeriksaan itu hanya empat bulan. Apabila pembayar pajak tidak puas dengan hasil pemeriksaan dia bisa minta QA (quality assurance). Jika QA dia masih enggak puas, tetap langsung ke banding. Jadi, berapa bulan itu penyelesaian sengketa pajak bisa kepotong? Artinya lebih efektif,” jelas Haula. Ketiga pilar itu ditopang oleh big data, integrasi data, dan artificial intelligence. 

Founder DDTC Darussalam juga menekankan, pembentukan BPN perlu menitikberatkan pada hak-hak Wajib Pajak. Ia menjelaskan, hak itu diartikan sebagai suatu aturan untuk melindungi Wajib Pajak dari pemungutan oleh otoritas pajak yang sewenang-wenang atau melanggar hukum.

“Kehadiran BPN perlu dilihat dalam konteks setting kelembagaan dalam area pajak yang lebih luas dengan tetap menekankan jaminan perlindungan hak-hak Wajib Pajak,” tegas Darussalam.

Akademisi Perpajakan/Ketua IFTAA Prianto Budi mengingatkan, wacana pembentukan BPN muncul ketika kajian kelembagaan DJP dirilis oleh AIPEG atau Australia Indonesia Partnership for Economic Governance pada tahun 2014. Kajian AIPEG tersebut menggunakan kerangka teori ekonomi kelembagaan dengan hasil bahwa DJP mempunyai masalah tata kelola dan wewenangnya di bidang organisasi, anggaran, dan keuangan terbatas.

Sebagai rekomendasi AIPEG, DJP perlu membuat peta jalan untuk mentransformasi kelembagaannya menjadi sebuah semiautonomous body yang dipisahkan dari Kemenkeu. Secara resmi, usulan BPN di atas dimasukkan ke dalam Rancangan Undang-undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) tahun 2016 dan menargetkan BPN mulai efektif beroperasi di 1 Januari 2017.

“Kelembagaan BPN lebih tepat digabung ke dalam UU KUP, sebagaimana telah dilakukan pada saat penyampaian RUU KUP tahun 2016 yang di dalamnya menyertakan rancangan kelembagaan BPN terpisah dari Kemenkeu,” imbuh Prianto.

Ia pun menjelaskan tiga tahapan untuk mengimplementasikan kelembagaan BPN dalam benchmark pembentukan revenue authority (RA) dalam teori Crandall & Kidd (2010), yaitu tahap I adalah fase pembuatan keputusan, tahap II berisi pembentukan peraturan perundang-undangan, serta tahap III yang masuk pada kesiapan operasional.

Sementara itu, Kepala Departemen Hukum Tata Negara UGM Zainal Arifin Mochtar berpendapat, pembentukan BPN bukan sekadar memisahkan antara Kemenkeu dengan DJP, melainkan menitikberatkan pada kebutuhan untuk menyelesaikan permasalahan perpajakan berdasarkan kepentingan publik bukan kepentingan politik. Untuk itu, pembentukan BPN membutuhkan diskusi ilmiah yang lebih kaya dari berbagai sudut pandang.

“Kajian pembentukan BPN perlu diperkaya, dari segi perspektif teks konstitusi dan kelembagaan, kebutuhan perbaikan perpajakan, dan gambaran komparatif apa yang dilakukan berbagai negara lainnya,” ujar Zainal.

Diskusi yang dipandu oleh Andik Kusbiantoro ini juga diisi dengan penyampaian perspektif maupun pertanyaan dari peserta, antara lain perwakilan Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI), Asosiasi Konsultan Pajak Publik Indonesia (AKP2I), Asosiasi Pengusaha Kawasan Berikat (APKB), dan para mahasiswa.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *