in ,

Hadi Poernomo Desak Pemerintah Batalkan PPN 12 Persen, Kembali ke 10 Persen dengan “Monitoring Self-Assessment”

Hadi Poernomo
FOTO: Dok. Antara Puspa Perwitasari.

Hadi Poernomo Desak Pemerintah Batalkan PPN 12 Persen, Kembali ke 10 Persen dengan “Monitoring Self-Assessment”

Pajak.com, Jakarta – Mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Hadi Poernomo, mendesak pemerintah untuk bukan sekadar mengundur tapi membatalkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen yang dijadwalkan berlaku mulai 1 Januari 2025. Menurutnya, langkah ini perlu digantikan dengan mengimplementasikan sistem monitoring self-assessment guna menjaga penerimaan negara dan sekaligus menurunkan tarif PPN kembali menjadi 10 persen.

Hadi menilai kenaikan kenaikan tarif PPN yang diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) Pasal 7 ayat (1), yaitu naik dari 10 persen menjadi 11 persen pada 2022, dan direncanakan menjadi 12 persen, akan menambah beban masyarakat kecil.

“Mengandalkan PPN sebagai sumber utama (pendapatan negara) hanya akan membebani masyarakat kecil yang mayoritas pendapatannya untuk konsumsi,” ujar Hadi Poernomo dalam keterangan resmi, dikutip Pajak.com pada Senin (2/12). Ia menegaskan kebijakan perpajakan harus melindungi daya beli rakyat kecil dan mendorong pemerataan ekonomi.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sebagian besar tenaga kerja di Indonesia, lebih dari 50 juta orang, memiliki tingkat pendidikan rendah dan daya beli terbatas. Hadi mengungkapkan bahwa kenaikan tarif ini tidak hanya memperburuk daya beli masyarakat, tetapi juga memperlebar ketimpangan sosial-ekonomi.

Baca Juga  Kanwil DJP Jawa Barat II Gelar Pekan Sita Serentak, Targetkan 28 Aset Penunggak Pajak

Bagaimana Kenaikan Tarif PPN Dibatalkan?

Menurut Hadi, pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) agar ketetapan tarif PPN 12 persen yang ada dalam UU HPP bisa dibatalkan. “Penerbitan Perppu dapat dilakukan untuk mencegah kenaikan tarif PPN. Karena ini kan sudah diatur undang-undang di UU HPP,” imbuh Hadi yang juga merupakan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan RI Periode 2009-2014.

Ia juga menambahkan, mengacu pada UU HPP, tarif PPN 12 persen ini akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Artinya masih ada waktu satu bulan untuk membatalkan aturan tersebut. “Waktu yang singkat ini masih bisa dilakukan pemerintah dengan menerbitkan perppu, karena hanya membutuhkan persetujuan dari Presiden Prabowo Subianto,” ungkap Hadi.

Sistem “Monitoring Self-Assessment” sebagai Solusi

Korupsi dan penghindaran pajak memiliki karakteristik yang sama, yaitu timbul karena adanya kesempatan. Prinsip self-assessment yang mengandalkan kejujuran Wajib Pajak, berpotensi menimbulkan pelaporan pajak dengan tidak benar dan jelas. Dalam sistem self-assessment, Wajib Pajak diberikan hak untuk menghitung sendiri pajaknya, membayar pajak yang terutang, dan melaporkannya melalui Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikan kepada otoritas pajak.

Baca Juga  IKPI Edukasi Pengisian SPT Tahunan PPh Badan

Hadi mengusulkan sistem monitoring self-assessment, di mana seluruh transaksi keuangan dan non-keuangan Wajib Pajak wajib dilaporkan secara lengkap dan transparan. Sehingga pajak bukan hanya sebagai sumber utama pendapatan negara, tetapi juga alat yang sangat strategis untuk memberantas korupsi dan melunasi semua utang negara.

Untuk diketahui, sistem monitoring self-assessment dirancang untuk menghimpun data dari berbagai sumber yang akan disatukan dengan konsep berbasis link and match, sehingga negara mampu menguji SPT Wajib Pajak serta memungkinkan pemetaan penerimaan negara secara komprehensif, termasuk pendapatan yang bersifat legal maupun ilegal.

Sistem ini dapat memastikan setiap laporan pajak mencerminkan kondisi ekonomi sebenarnya, meminimalkan kebocoran penerimaan pajak, meningkatkan kepercayaan publik, dan optimalisasi penerimaan negara tanpa menaikkan tarif. “Dengan pengawasan ini, tarif PPN dapat kembali menjadi 10 persen tanpa mengurangi penerimaan negara,” tegasnya.

Langkah Strategis yang Harus Diambil

Hadi menyoroti inkonsistensi regulasi sebagai hambatan utama pengawasan pajak yang efektif. Hal ini menyebabkan munculnya aturan yang tidak sesuai dengan kaidah hukum atau pembatasan nilai yang tidak relevan.

Hadi mengusulkan agar fokus utama dalam perbaikan sistem perpajakan adalah pada penyelarasan peraturan-peraturan yang ada agar lebih konsisten dan terintegrasi. Selain itu, penting juga untuk mengembangkan dan memperkuat alat monitoring yang memungkinkan otoritas pajak dapat memverifikasi pelaporan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sehingga prinsip self-assessment dapat dijalankan dengan lebih efektif dan akuntabel.

Baca Juga  PPh 25 dan 29: Bedanya Apa dan Kapan Bayarnya?

“Kalau sistem ini diterapkan, keadilan perpajakan akan terwujud. Petugas pajak tidak dapat bertindak sewenang-wenang. Ini adalah kunci untuk menciptakan keadilan pajak,” kata Hadi.

Dengan sistem monitoring self-assessment, transparansi yang dihasilkan memungkinkan perluasan basis pajak yang lebih akurat. Hal ini membuka peluang untuk menurunkan tarif pajak tanpa mengurangi penerimaan negara, karena basis pajak yang lebih luas tetap mampu mendukung peningkatan rasio pajak secara signifikan.

Dengan demikian, jika semua pembenahan telah dilakukan, tarif PPN bisa diturunkan kembali menjadi 10 persen, sehingga daya beli masyarakat meningkat tanpa mengurangi penerimaan negara. Tarif PPN yang lebih rendah juga akan membuka ruang ekonomi untuk meningkatkan konsumsi masyarakat.

“Bukan menaikkan tarif yang jadi solusi. Yang penting adalah SPT Wajib Pajak mampu diuji, meningkatkan kepatuhan, dan memastikan sistem pengawasan yang mampu menciptakan keadilan, transparansi, dan efisiensi,” pungkasnya.

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *