Evi Kurnia Sari Bagikan Kiat Terapkan “Transfer Pricing Compliance”
Pajak.com, Jakarta – Tantangan global dan perubahan regulasi pajak semakin dinamis. Oleh karena itu, perusahaan multinasional harus memahami dan mempersiapkan diri dengan baik terhadap aturan transfer pricing. Dalam wawancara dengan Pajak.com, Supervisor Transfer Pricing Compliance & International Tax V TaxPrime Evi Kurnia Sari bagikan kiat bagi perusahaan dalam terapkan transfer pricing compliance.
Transfer pricing atau penetapan harga transfer antar-pihak dengan hubungan istimewa, telah menjadi perhatian utama otoritas pajak di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Melalui regulasi yang ketat dan pembaruan peraturan, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus memperkuat upaya untuk memastikan kepatuhan pajak yang adil dan transparan. Terakhir, Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 172 Tahun 2023 yang mengatur kewajiban Wajib Pajak dan kewenangan DJP terkait transfer pricing.
Dalam wawancara, Evi menjelaskan mengapa transfer pricing menjadi perhatian global. “Transfer pricing sering digunakan untuk menggeser laba, terutama di grup perusahaan multinasional yang beroperasi di negara dengan tarif pajak berbeda. Perusahaan di negara dengan tarif pajak tinggi sering bertransaksi dengan afiliasi di negara dengan tarif pajak lebih rendah, untuk mengurangi laba kena pajak. Ini dikenal sebagai Base Erosion and Profit Shifting (BEPS),” ujarnya di Kantor TaxPrime, Menara Kuningan, pada (06/11).
Di Indonesia, Evi menjelaskan bahwa sengketa terkait transfer pricing masih sering terjadi. Namun, Indonesia telah mengadopsi beberapa mandat dari 15 BEPS Action Plan sebagai langkah untuk memitigasi sengketa tersebut.
“Salah satu penerapan BEPS Action Plan adalah PMK Nomor 213 Tahun 2016, yang mengatur dokumentasi transfer pricing dalam bentuk master file, local file, dan Country by Country Report (CbCR). PMK ini juga menetapkan ambang batas kewajiban Wajib Pajak untuk menyusun dokumen lokal, master file, dan ketentuan terkait CbCR serta informasi yang harus dicantumkan dalam setiap dokumen,” jelasnya.
Lebih lanjut, Indonesia telah menerapkan peraturan transfer pricing compliance melalui PMK Nomor 213 Tahun 2016 dan PMK Nomor 22 Tahun 2020. Adapun, peraturan terbaru, yaitu PMK Nomor 172 Tahun 2023, telah diterbitkan untuk mengganti serta melengkapi kedua peraturan sebelumnya (PMK 213/2016 dan PMK 22/2020).
Evi juga menjelaskan pentingnya kesadaran perusahaan dan Wajib Pajak terhadap transfer pricing compliance. “Transfer pricing compliance adalah kepatuhan perusahaan dalam menyusun dan menyimpan dokumen harga transfer, seperti master file dan local file, serta penyampaian laporan per negara untuk entitas induk dan notifikasi CbCR,” urainya.
Kepatuhan pajak, menurut Evi, bermula dari kesadaran diri. Wajib Pajak harus memiliki pemahaman mendalam tentang aturan yang berlaku. “Penerapan transfer pricing compliance memerlukan pemahaman yang baik dari Wajib Pajak mengenai aturan transfer pricing. Dengan pemahaman ini, Wajib Pajak akan mengetahui kewajibannya, termasuk kapan harus menyusun dan menyimpan dokumen harga transfer,” tambahnya.
Merujuk pada PMK Nomor 172 Tahun 2023, Evi menjelaskan bahwa DJP telah mengatur secara jelas terkait pengawasan kepatuhan transfer pricing. “DJP berwenang meminta Dokumen Penentuan Harga Transfer, dan Wajib Pajak memiliki kewajiban untuk menyampaikan dokumen dalam jangka waktu satu bulan. Peraturan ini diharapkan dapat meningkatkan transfer pricing compliance dari sisi Wajib Pajak,” pungkasnya.
Comments