in ,

Eks Dirjen Pajak Robert Pakpahan: “Core Tax”, Sistem yang “Powerfull” 

Eks Dirjen Pajak Robert Pakpahan: Core Tax, Sistem yang Powerfull
Foto: Tiga Dimensi 

Eks Dirjen Pajak Robert Pakpahan: “Core Tax”, Sistem yang “Powerfull” 

Pajak.com, Jakarta – Sejak terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 40 Tahun 2018, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyiapkan segala proses membangun Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau core tax. Saat ini pembangunan sistem yang mengintegrasikan 21 proses bisnis perpajakan tersebut telah sampai pada tahap uji coba internal dan direncanakan dapat diimplementasikan penuh pada 1 Juli tahun 2024. Eks Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak periode 2017-2019 dan Senior Advisor TaxPrime Robert Pakpahan menuturkan bahwa core tax merupakan sistem yang powerfull—memberikan keakuratan bagi DJP sekaligus keadilan Wajib Pajak.

Ya, bicara tentang core tax agaknya tidak bisa lepas dari periode kepemimpinan Robert Pakpahan—yang kala itu melakukan upaya gerak cepat dalam melaksanakan amanah Perpres Nomor 40 Tahun 2018. Dalam catatan Pajak.com, DJP mulai melakukan pengadaan melalui Pricewaterhouse Coopers Consulting Indonesia (PwC Indonesia) yang kemudian dipilih menteri keuangan lewat KMK-939/KMK.03/2019 pada tanggal 27 Desember 2019.

Selanjutnya, DJP melakukan proses international bidding pada 2020, yaitu pengembangan sistem market sounding (kajian pasar) dan dilanjutkan mendesain ulang 21 proses bisnis untuk menyesuaikan kebutuhan dan ketersediaan sistem operasi pada tahun 2021. Hingga akhirnya, kini pembangunan core tax telah memasuki build and test atau pelaksanaan pembangunan sekaligus pengujian sistem.

Core tax adalah pengembangan satu sistem besar yang akan menggunakan teknologi informasi sebagai backbone di dalam penyelenggaraan administrasi perpajakan. Sehingga administrasi perpajakan yang menyelenggarakan pemungutan pajak, pelayanan, pengawasan, dan lain-lain ditopang secara penuh oleh teknologi informasi. Saya sangat yakin, core tax akan menghasilkan suatu administrasi pemungutan pajak yang andal, yakni bermutu, akurat, cepat. Sistem yang powerfull,” ujar Robert kepada Pajak.com, di Ruang Rapat Utama, Kantor TaxPrime, Menara Caraka, Kawasan Mega Kuningan, (10/6).

Baca Juga  Urgensi Badan Penerimaan Negara, Haula Rosdiana: Amanah Konstitusi

Bak oase di padang pasir, core tax diharapkan mampu menjadi solusi dalam mengorkestrasikan kompleksitas proses bisnis administrasi pajak. Robert mengungkapkan bahwa proses bisnis pemungutan pajak adalah salah satu administrasi yang cukup rumit, mulai dari pendaftaran, penghitungan, pembayaran, pelaporan, pemeriksaan, pengawasan, penegakan hukum, hingga proses penyelesaian sengketa.

“Dari mulai pendaftaran saja ada proses bisnis lagi, yakni penyuluhan. Bagaimana menyuluh dan mengajari berapa tarif pajaknya, bagaimana menghitungnya—semua ada proses bisnisnya. Kemudian ada proses bisnis pelaporan, waktu Wajib Pajak menyampaikan SPT tahunan/masa semua ada proses bisnisnya. Kemudian kalau ada pengawasan, karena pembayaran atau penghitungan (keliru), ada lagi proses bisnisnya. Kalau dia merasa (pemeriksaan DJP) enggak benar, dia mengajukan sengketa dengan proses bisnis keberatan, banding, peninjauan kembali.  Banyak sekali, rumit,” ungkap Robert.

Kerumitan tersebut sejatinya telah diupayakan DJP dengan membangun sistem administrasi di masing-masing proses bisnis. Namun, upaya ini masih menimbulkan disintegrasi data dan/informasi Wajib Pajak yang menyebabkan belum optimalnya penerimaan dan rasio pajak di Indonesia. Dengan demikian, core tax hadir mengintegrasikan 21 proses bisnis administrasi perpajakan dalam core tax. 

Ia menguraikan, 21 proses bisnis yang dintegrasikan dalam core tax, meliputi pendaftaran, pelayanan, pengawasan kewilayahan atau ekstensifikasi, pengelolaan Surat Pemberitahuan (SPT) tahunan/masa, pembayaran, pengelolaan data pihak ketiga, exchange of information (EoI), penagihan, tax payer management atau tax account management, pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan, Compliance Risk Management (CRM), business intelligence, document management system, data quality management, keberatan dan banding, nonkeberatan, pengawasan, penilaian, layanan edukasi, dan knowledge management. 

21 proses bisnis dalam satu teknologi informasi secara terpadu, memungkinkan DJP jarang salah dalam menyelenggarakan, pelayanan, pengawasan, pemeriksaan, keberatan, penagihan, dan lain-lain. Muaranya, overall administrasi perpajakan lebih berkualitas, lebih andal, akhirnya adalah pelayanan meningkat, kepatuhan meningkat, akurasi meningkat, salah hitung berkurang, seyogianya core tax ini bagus banget untuk ekosistem perpajakan kita,” jelas Robert.

Baca Juga  Sewakan Tanah atau Bangunan Kena PPh Final, Ini Tarif dan Contoh Penghitungannya 

Muaranya, harmonisasi 21 proses bisnis ini akan mampu meminimalisasi kesalahan DJP dalam melakukan pelayanan, pengawasan, atau penegakan hukum. Robert optimistis, core tax merupakan sistem yang mumpuni menciptakan keadilan yang berujung pada peningkatan kepatuhan pajak.

“Salah satu yang paling powerfull adalah pengelolaan data. Di dalam pengawasan, core tax akan menggunakan data dan pengolahan datanya menggunakan IT, apalagi (DJP sudah memperoleh data) dari sektor keuangan maupun nonsektor keuangan. Dengan core tax lebih akurat, tingkat kepatuhan akan merata, meningkat di semua lapisan dan adil karena kalau tadinya ada kelompok-kelompok yang enggak bayar pajak, nanti dengan mudah terdeteksi sistem. Ini adil bagi yang sudah bayar pajak benar (sesuai aturan),” ujar Robert.

Harmonisasi seluruh data dan/informasi Wajib Pajak dalam core tax diyakininya mampu menciptakan keakuratan yang optimal. Salah satu contohnya, proses penyimpan pembayaran pajak akan bergabung melalui interface pada proses bisnis administasi lainnya, seperti pemeriksaan atau pelaporan SPT. Keakuratan setiap langkah DJP juga semakin terwujud dengan terintegrasinya Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Baca Juga  Memasyarakatkan Pajak, IKPI Depok Gelar Turnamen Golf

“Dengan SOP (Standard Operating Procedure), semuanya saling berhubungan, saling memengaruhi di dalam satu sistem besar, sehingga dengan mudah Wajib Pajak terlayani. Kalau dulu, misalnya, petugas pajak ingin melihat si A berapa tagihan pajaknya? harus dilihat aplikasi atau sistem penagihan saja. Kalau dalam core tax bukan hanya soal penagihan atau berapa bayar pajaknya, tapi ujungnya ada tax account managementbisa melihat bagaimana kepatuhan pajaknya, kapan dia bayar, apakah dia sedang diperiksa, dia butuh dilakukan penyuluhan seperti apa. Hingga akhirnya ini menjadi tools yang sangat powerfull,” jelas Robert.

Dengan begitu, core tax dapat menghasilkan analisis pemetaan Wajib Pajak berisiko rendah, sedang, atau tinggi secara objektif—tidak terintervensi oleh subjektivitas manusia. Maka, segala pengawasan dan pelayanan yang dilakukan oleh DJP didesain untuk memberikan kepastian hukum dan keadilan kepada Wajib Pajak.

Core tax dibekali sistem data matching, ada keseragaman, ada standardisasi, otomasi dalam mengawasi Wajib Pajak, akhirnya adil. DJP akan bekerja secara lebih modern, sehingga yang enggak perlu diperiksa, tidak diperiksa. CRM ini sudah sejak beberapa tahun DJP gunakan untuk menentukan risiko Wajib Pajak yang menjadi prioritas diperiksa, tapi di core tax lebih powerfull karena terintegrasi,” pungkas Robert.

Baca juga:

 “Core Tax” Akan Diterapkan Pertengahan 2024, DJP “Update” Kesiapannya

“Core Tax” Perkuat Sistem Administrasi dan Kebijakan Perpajakan

BAGAIMANA MENURUT ANDA ?

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *