Kurs Rupiah Terancam Sentuh Rp17.000, APINDO Soroti Dampak dan Langkah Mitigasi Pemerintah
Pajak.com, Jakarta – Kurs rupiah tertekan dan semakin mendekati level psikologis Rp17.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Tekanan ini memicu kekhawatiran terhadap stabilitas ekonomi nasional dan daya saing dunia usaha. Pemerintah pun dituntut untuk bergerak cepat melalui strategi mitigasi yang terukur. Analis Kebijakan Ekonomi APINDO Ajib Hamdani, menilai pelemahan rupiah saat ini bukan sekadar masalah fluktuasi jangka pendek, tetapi mencerminkan sentimen pasar global terhadap kebijakan ekonomi nasional.
Ajib menjelaskan bahwa dalam rentang dua hari terakhir, nilai tukar rupiah mengalami tekanan di pasar Non-Deliverable Forward (NDF), yaitu nilai tukar yang digunakan dalam kontrak berjangka valuta asing (valas). Nilai pasar NDF ini menjadi indikator keyakinan global atas nilai rupiah. Pasar NDF menunjukkan nilai tukar rupiah melemah di kisaran Rp17.200 per dolar AS.
“Kondisi ini sejalan dengan pelemahan nilai tukar rupiah di pasar spot exchange sudah menyentuh Rp16.800 dan terus mengalami fluktuasi,” ujar Ajib dalam keterangannya kepada Pajak.com, Selasa (8/4/2025).
Langkah cepat pun dilakukan Bank Indonesia (BI). Direktur Eksekutif Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdhan Denny Prakosa, menyampaikan bahwa BI secara berkesinambungan melakukan intervensi di pasar NDF serta mitigasi crowding out melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
Meski nilai tukar rupiah tertekan, Ajib menilai bahwa indikator makroekonomi dalam negeri masih tergolong stabil. “Tingkat suku bunga acuan stabil di angka 5,75 persen dan inflasi masih di rentang kendali di bawah 2,5 persen,” jelas Ajib. Selain itu, faktor politik juga dinilai cukup kondusif dengan dimulainya pemerintahan baru di bawah Prabowo Subianto.
Namun, ada tiga faktor utama yang menurut Ajib mendorong pelemahan nilai tukar rupiah. Pertama, tekanan dari kondisi ekonomi global, khususnya kebijakan Presiden AS Donald Trump yang menaikkan tarif pajak, memicu kontraksi neraca dagang Indonesia-Amerika yang sebelumnya mencatat surplus lebih dari 16 miliar dolar AS pada 2024.
Kedua, penurunan keyakinan pasar global terhadap ekonomi dalam negeri Indonesia. Salah satu indikatornya adalah Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang anjlok lebih dari 9 persen saat perdagangan bursa dibuka pada 8 April 2025. Ketiga, kebijakan defisit fiskal yang membuat setiap isu terkait pengelolaan keuangan negara langsung memengaruhi kurs rupiah.
Proyeksi pemerintah dalam Kerangka Ekonomi Makro 2025 menetapkan kurs rupiah di kisaran Rp16.000 per dolar AS. Namun kenyataannya, nilai tukar terus tertekan dan mendekati Rp17.000.
“Ketika rupiah mengalami pelemahan menuju Rp.17.000 akan membawa dampak terhadap kebijakan moneter dan fiskal sekaligus,” tegas Ajib. Karena itu, pemerintah perlu segera melakukan penyesuaian kebijakan untuk memitigasi dampak yang mungkin terjadi.
Ajib pun menggarisbawahi bahwa mitigasi fluktuasi nilai tukar tidak bisa hanya bergantung pada kebijakan fiskal dan moneter. “Pemerintah bisa melakukan setidaknya 4 (empat) langkah untuk mitigasi jangka pendek maupun jangka panjang, di luar kebijakan fiskal dan moneter,” imbuh Ajib.
Pertama, melanjutkan program optimalisasi Devisa Hasil Ekspor (DHE) dengan tetap memberikan insentif kepada pelaku usaha agar likuiditas tetap terjaga. Kedua, fokus pada program orientasi ekspor dan substitusi impor.
Kemudian ketiga, mendorong peningkatan nilai tambah komoditas unggulan, khususnya di sektor pertanian, perkebunan, dan maritim. Keempat, mendorong kebijakan revitalisasi sektor padat karya serta deregulasi guna menekan biaya ekonomi tinggi dan meningkatkan daya saing.
Ajib mengingatkan bahwa tekanan nilai tukar rupiah adalah cerminan kompleksitas ekonomi yang sedang terjadi. “Pemerintah harus bisa membuat langkah-langkah untuk stabilisasi nilai tukar dengan program-program kebijakan yang terukur dan pro dengan dunia usaha,” jelasnya.
Dengan kondisi global yang dinamis dan tantangan fiskal yang nyata, keberanian pemerintah dalam mengambil langkah strategis akan menjadi penentu arah stabilitas ekonomi Indonesia ke depan.
Comments