Industri Manufaktur Indonesia Tetap Ekspansi di Tengah Kontraksi Ekonomi
Pajak.com, Jakarta – Di tengah tekanan ekonomi, industri manufaktur Indonesia tetap menunjukkan ekspansi. Indeks Kepercayaan Industri (IKI) Maret 2025 tercatat di level 52,98, menandakan optimisme pelaku usaha masih tinggi. Meski demikian, angka ini mengalami perlambatan dibandingkan Februari 2025 yang mencapai 53,15.
Pelaku industri menilai prospek sektor manufaktur tetap positif, terutama jika pemerintah mengeluarkan kebijakan yang lebih berpihak pada industri dalam negeri. Juru Bicara Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Febri Hendri Antoni Arief, mengatakan bahwa perlambatan IKI Maret ini salah satunya disebabkan oleh libur Lebaran.
“Perusahaan meningkatkan produksinya dua atau tiga bulan sebelum Ramadan dan Lebaran untuk dapat memenuhi peningkatan permintaan bulan Ramadan hingga Lebaran. Kami juga mendapatkan laporan penurunan penjualan produk makanan dan minuman serta tekstil dan produk tekstil (TPT) beberapa hari menjelang Lebaran dan liburan setelah Lebaran,” kata Febri dalam keterangan resminya pada Rabu (26/3/2025).
Meskipun mengalami perlambatan, IKI masih ditopang oleh pertumbuhan di 21 subsektor industri pengolahan, yang berkontribusi sebesar 96,5 persen terhadap PDB industri pengolahan nonmigas pada kuartal IV 2024. Industri pencetakan dan reproduksi media rekaman serta industri farmasi, produk obat kimia, dan obat tradisional menjadi subsektor dengan ekspansi tertinggi. Sebaliknya, industri furnitur serta industri karet, barang dari karet, dan plastik mengalami kontraksi.
Penurunan permintaan dari luar negeri akibat ketidakpastian global juga turut menyebabkan perlambatan pesanan baru, terutama ekspor. Namun, peningkatan produksi dan persediaan menunjukkan bahwa permintaan dalam negeri masih cukup kuat. Momentum Ramadan dan Lebaran menjadi salah satu pendorong pertumbuhan, meskipun dampaknya berkurang akibat tekanan banjir produk impor murah.
Pasar domestik memiliki peran penting dalam menopang industri manufaktur nasional. Sebagian besar produk manufaktur dijual di dalam negeri, sementara sisanya diekspor.
Permintaan dari sektor pemerintah, swasta, dan rumah tangga sangat menentukan kinerja industri. Ketika permintaan domestik naik, maka manufaktur ikut terdorong, tetapi ketika pasar dibanjiri produk impor, industri dalam negeri terancam.
Pasar domestik yang besar juga menjadi daya tarik bagi investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Mereka melihat potensi pertumbuhan yang stabil dan bersedia membangun fasilitas produksi baru.
Selain itu, industri manufaktur merupakan sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia. Hingga 2024, tercatat ada 19 juta tenaga kerja yang bergantung pada sektor ini. Jika manufaktur mengalami tekanan akibat masuknya produk impor dalam jumlah besar, maka perekonomian jutaan pekerja dan keluarganya juga ikut terdampak.
Peningkatan permintaan dalam negeri juga bisa menjadi peluang bagi industri lokal untuk meningkatkan daya saingnya. Dengan meningkatnya konsumsi produk dalam negeri, industri manufaktur dapat lebih fokus pada inovasi, peningkatan produktivitas tenaga kerja, serta efisiensi produksi agar bisa bersaing di tingkat global.
Meskipun IKI menunjukkan tren perlambatan, optimisme pelaku industri terhadap kondisi enam bulan ke depan masih cukup tinggi. Tingkat optimisme mencapai 69,2 persen, meskipun turun 3 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Namun, jumlah pelaku usaha yang yakin kondisi bisnis mereka akan tetap stabil meningkat menjadi 24,5 persen.
Salah satu tantangan yang harus dihadapi industri manufaktur adalah dampak perang dagang global. Produk manufaktur asing yang kesulitan masuk ke pasar Amerika Serikat (AS) akibat perang tarif berpotensi masuk ke Indonesia dalam jumlah besar. Situasi ini berisiko menekan permintaan terhadap produk lokal dan mengancam keberlangsungan industri dalam negeri.
Untuk mengatasi tantangan ini, Kemenperin terus berupaya melindungi industri dalam negeri melalui penerapan kebijakan Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Selain itu, relaksasi peraturan impor dan penyusunan kebijakan non-tariff measure juga dilakukan untuk membatasi masuknya produk impor yang berpotensi mengancam industri nasional.
Menurut Febri, melindungi industri dalam negeri bukan sekadar menjaga kinerja manufaktur, tetapi juga melindungi 19 juta tenaga kerja yang menggantungkan hidupnya di sektor ini. Oleh karena itu, pemerintah harus terus memastikan kebijakan yang berpihak pada industri lokal agar sektor manufaktur tetap tumbuh dan berdaya saing di tengah tekanan global.
“Sekali lagi kebijakan ini bertujuan melindungi industri dalam negeri dari gempuran produk impor. Melindungi industri dalam negeri berarti melindungi 19 juta rakyat Indonesia yang bekerja pada industri dalam negeri,” pungkas Febri.
Comments