“Brain Drain”: Apa Itu, Dampak, dan Perkembangannya di Indonesia
Pajak.com, Jakarta – Fenomena brain drain, atau emigrasi tenaga kerja terampil ke luar negeri, telah menjadi isu yang signifikan bagi banyak negara berkembang, termasuk Indonesia. Bahkan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan pada Mei lalu sempat mengemukakan rencana pemerintah untuk menawarkan kewarganegaraan ganda kepada mantan warga negara Indonesia yang telah tinggal di luar negeri. Artinya, brain drain tidak hanya berdampak terhadap menyusutnya sumber daya manusia berkualitas, tetapi juga defisit penerimaan pajak yang seharusnya dapat mendukung perekonomian nasional. Untuk itu, Pajak.com akan mengulas lebih dalam tentang apa itu brain drain, dampaknya terhadap perekonomian nasional, serta perkembangannya di Indonesia.
Apa Itu “Brain Drain”?
Brain drain adalah fenomena ketika tenaga kerja terampil dan berpendidikan tinggi meninggalkan negara asal mereka untuk mencari peluang yang lebih baik di luar negeri. Alasan utama di balik eksodus ini sering kali meliputi pencarian gaji yang lebih tinggi, kondisi kerja yang lebih baik, kesempatan untuk pengembangan karier, serta lingkungan penelitian dan teknologi yang lebih maju.
Istilah brain drain pertama kali diciptakan oleh Royal Society—lembaga ilmiah tertua di dunia asal Inggris—untuk menggambarkan emigrasi ilmuwan dan teknolog ke Amerika Utara dari Eropa pasca-Perang Dunia II. Sumber lain menunjukkan bahwa istilah ini pertama kali digunakan di Inggris untuk menggambarkan masuknya ilmuwan dan insinyur dari India.
Meskipun istilah ini awalnya merujuk pada pekerja teknologi yang meninggalkan suatu negara, maknanya telah meluas menjadi kepergian orang-orang terdidik atau profesional dari satu negara, sektor ekonomi, atau bidang ke negara, sektor, atau bidang lain. Fenomena brain drain terjadi ketika sejumlah besar orang yang lebih terdidik (melek huruf dan numerasi) dan memiliki keahlian beremigrasi. Mengingat bahwa istilah brain drain sering kali dicap negatif bagi negara asal, beberapa cendekiawan merekomendasikan untuk tidak menggunakan istilah ini dan memilih beebrapa istilah alternatif yang lebih netral dan ilmiah. Misalnya, human capital flight, skilled migration, atau talent flow.
Apa Saja Dampak Terjadinya Fenomena “Brain Drain”?
Dampak dari fenomena brain drain sangat signifikan dan dapat dirasakan dalam berbagai aspek:
1. Kekurangan Tenaga Ahli
Brain drain dapat menyebabkan kekurangan tenaga ahli di berbagai sektor penting seperti kesehatan, pendidikan, dan teknologi. Hal ini dapat menghambat inovasi dan perkembangan di sektor-sektor tersebut, yang pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi.
2. Penurunan Pendapatan Pajak
Brain drain juga berdampak pada penurunan pendapatan pajak. Ketika tenaga kerja terampil dan berpendidikan tinggi meninggalkan negara asal, mereka juga membawa potensi pendapatan pajak yang besar. Akibatnya, hal ini dapat mengurangi kemampuan pemerintah untuk membiayai layanan publik dan infrastruktur.
3. Ketimpangan Sosial dan Ekonomi
Brain drain dapat menyebabkan ketimpangan sosial dan ekonomi. Negara yang kehilangan banyak tenaga kerja terampil mungkin kesulitan untuk bersaing di pasar global, yang dapat memperburuk ketimpangan antara negara maju dan berkembang.
4. Hilangnya Modal Manusia Terampil
Brain drain berdampak pada hilangnya modal manusia terampil yang seharusnya dapat menjadi pemimpin dalam pengembangan industri dan teknologi di negara asal. Kehilangan talenta-talenta ini berarti kehilangan potensi inovasi dan kemajuan yang dapat mendorong perekonomian domestik ke arah yang lebih baik. Fenomena ini meninggalkan kekosongan yang sulit diisi karena mungkin tidak banyak orang dengan keterampilan serupa untuk mengisi kekosongan tersebut.
5. Penurunan Moral dan Motivasi Tenaga Kerja
Fenomena ini juga dapat memengaruhi moral dan motivasi tenaga kerja yang tersisa, karena mereka mungkin merasa kurang dihargai dan termotivasi untuk mencari peluang di luar negeri.
6. Penurunan Pengeluaran Konsumen
Dampak lainnya adalah penurunan pengeluaran konsumen di negara asal, karena profesional yang pergi biasanya memiliki daya beli yang tinggi. Akibatnya, ekonomi lokal dapat mengalami penurunan aktivitas ekonomi dan pertumbuhan yang lebih lambat.
Perkembangan “Brain Drain” di Indonesia
Di Indonesia, fenomena brain drain semakin terlihat perkembangannya. Mengutip data Direktorat Jenderal Imigrasi, sebanyak 3.912 WNI pindah kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura antara tahun 2019 hingga 2023. Selain itu, sekitar 1.000 mahasiswa asal Indonesia yang berusia 25–35 tahun memutuskan untuk menjadi warga negara Singapura setiap tahunnya.
Alasan mereka pindah pun beragam, mulai dari kesempatan bekerja, infrastruktur, hingga pendidikan yang lebih baik. Dari data tersebut juga menunjukkan fakta bahwa WNI yang pindah ke Singapura adalah mereka yang masih berada di usia produktif dan memiliki keahlian. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan banyak talenta muda yang berpotensi besar untuk berkontribusi pada pembangunan nasional.
Untuk menarik minat diaspora atau talenta-talenta profesional asal Indonesia di luar negeri, pemerintah tengah mempertimbangkan untuk menyediakan kewarganegaraan ganda. Wacana ini pertama kali diungkapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan pada Mei lalu. Rencana ini ditujukan kepada mantan WNI yang telah tinggal di luar negeri, dengan harapan dapat menarik kembali individu-individu yang sangat terampil ke tanah air.
Namun, salah satu hambatan utama dalam pelaksanaan kebijakan ini adalah UU No. 12 Tahun 2012 tentang Kewarganegaraan yang menegaskan bahwa Indonesia tidak mengenal kewarganegaraan ganda atau dwi-kewarganegaraan. Untuk mengatasinya, pemerintah sedang merancang kebijakan yang mirip dengan Overseas Citizenship of India (OCI) atau Kewarganegaraan India di Luar Negeri.
Pemegang OCI memiliki hak yang setara dengan warga negara India, kecuali hak politik di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, hak untuk memilih dan dipilih, atau bekerja untuk pemerintah dalam kapasitas apa pun. Mereka juga tidak memenuhi syarat untuk menerima subsidi atau tunjangan repatriasi dari pemerintah, tetapi mungkin tetap dikenakan pajak penghasilan yang diperoleh di India. Selain itu, mereka akan dikenakan biaya yang sama dengan warga asing untuk mendapatkan layanan publik.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengungkapkan, rencana ini telah dibahas beberapa kali dalam rapat terbatas bersama Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Studi banding ke India dan revisi draft aturan telah dilakukan berulang kali di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenkopolhukam), yang telah ditunjuk sebagai koordinator utama. Skema baru ini diharapkan dapat diselesaikan sebelum masa pemerintahan Jokowi berakhir.
Comments